PENDAHULUAN
Penatalaksanaan nutrisi pada penderita Penyakit Ginjal Kronis (PGK) yang belum memerlukan dialisis merupakan bagian dari pengelolaan konservatif penderita PGK. Tujuan penatalaksanaan nutrisi pada penderita pra-dialisis adalah mencegah timbunan nitrogen, mempertahankan status gizi yang optimal untuk mencegah terjadinya malnutrisi, menghambat progresifitas kemunduran faal ginjal serta mengurangi gejala uremi dan gangguan metabolisme.Status nutrisi merupakan faktor yang perlu dipertimbangkan pada saat penderita membutuhkan inisiasi dialisis karena merupakan prediktor untuk hasil akhir yang bisa dicapai dan adanya malnutrisi protein-energi merupakan faktor risiko mortalitas. Tergantung pada petanda nutrisi yang digunakan dan populasi yang diteliti,diperkirakan 50%-70% penderita dialisis menunjukkan tanda dan gejala malnutrisi. Dibutuhkan kerjasama antara dokter, perawat dan ahli gizi dalam edukasi perubahan pola diit antara masa sebelum dan sesudah menjalani dialisis, penatalaksanaan kebutuhan nutrisi serta mengatasi faktor-faktor yang ikut berperan dalam terjadinya malnutrisi.

MALNUTRISI PADA PASIEN DIALISIS
Malnutrisi protein-energi atau protein-energy malnutrition (PEM) adalah kondisi berkurangnya protein tubuh dengan atau tanpa berkurangnya lemak, atau suatu kondisi terbatasnya kapasitas fungsional yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara asupan dan kebutuhan nutrient, yang pada akhirnya menyebabkan berbagai gangguan metabolik, penurunan fungsi jaringan, dan hilangnya massa tubuh. Dengan demikian, PEM yang terjadi pada pasien PGK yang menjalani dialisis seharusnya dapat diperbaiki dengan memenuhi kebutuhan nutrisinya. Pada dasarnya malnutrisi disebabkan oleh asupan nutrisi yang kurang, kehilangan nutrient meningkat, dan atau katabolisme protein yang meningkat. Dalam keadaan normal, inflamasi adalah suatu respon yang bersifat protektif. Ini merupakan mekanisme pertahanan penting pada injury akut, dan biasanya akan berkurang ketika terjadi perbaikan. Akan tetapi inflamasi menjadi berbahaya bila terjadi kronis. Bukti-bukti menunjukkan bahwa pada pasien dialisis yang malnutrisi didapatkan peningkatan petanda inflamasi dan sitokin-sitokin pro-inflamasi seperti CRP dan IL-6. Adanya inflamasi dikaitkan dengan anoreksia yang terjadi pada pasien dialisis. Inflamasi kronis juga bisa meningkatkan kecepatan penurunan protein otot skeletal ataupun yang ada dijaringan lain, mengurangi otot dan lemak, menyebabkan hipoalbumin dan hiperkatabolisme dimana kesemuanya tadi akan menyebabkan kidney disease wasting (KDW). Adanya status nutrisi yang buruk akan menyebabkan penderita malaise dan fatigue, rehabilitasi jelek, penyembuhan luka terganggu, kepekaan terhadap infeksi meningkat dan angka rawat tinggal dan mortalitas juga meningkat.

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya PEM:
Asupan nutrisi kurang
– Restriksi diit berlebihan
– Pengosongan lambung lambat dan diare
– Komorbid medis lainnya
– Kejadian sakit dan rawat inap yang berulang
– Asupan makanan lebih menurun pada hari-hari dialisis
– Obat-obat yang menyebabkan dispepsia (pengikat fosfat, preparat besi)
– Dialisis tidak adekwat
– Depresi
– Perubahan sensasi rasa

Kehilangan nutrient meningkat
– Kehilangan darah melalui saluran cerna
– Kehilangan nitrogen intradialytic

Katabolisme protein meningkat
– Kejadian sakit dan rawat inap yang berulang
– Komorbid medis lain
– Asidosis metabolik
– Katabolisme yang dikaitkan dengan hemodialisis
– Disfungsi dari the growth hormone-insulin growth factor endocrine axis
– Efek katabolik beberapa hormon (hormon parathyroid, kortisol, glukagon)

Malnutrisi pada pasien dialisis juga menyebabkan konsekwensi klinis penting lainnya. Anemia lebih sering terjadi pada pasien dialisis yang juga menderita malnutrisi dan atau inflamasi, dan respon terhadap erythropoietin yang minimal biasanya dikaitkan dengan tingginya kadar sitokin pro-inflamasi. Pada pasien dialisis yang juga menderita penyakit jantung koroner (PJK) seringkali didapatkan hipoalbumin dan peningkatan kadar petanda inflamasi. Baik pada populasi umum maupun pasien dialisis, peningkatan indikator inflamasi seperti CRP merupakan prediktor kuat terhadap kejadian kardiovaskuler. Hubungan antara status nutrisi yang buruk, inflamasi yang terus berlangsung dan aterosklerosis pada pasien dialisis ini dikenal sebagai malnutrition-inflamation-atherosclerosis (MIA) syndrome. Pada pasien dialisis, hubungan antara kondisi gizi yang buruk dan dampaknya pada penyakit kardiovaskuler ini memberi data epidemiologi yang berbeda atau terbalik bila dibandingkan dengan populasi umum, dan ini dikenal sebagai reverse epidemiology. Di Negara-negara industri atau makmur, PEM jarang menyebabkan dampak buruk pada populasi umum, justru overnutrition dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler dan kelangsungan hidup yang lebih pendek. Hal sebaliknya terjadi pada pasien hemodialisis, undernutrition justru merupakan salah satu faktor risiko utama untuk kejadian kardiovaskuler. Begitu pula untuk parameter lainnya, pada populasi umum body mass index (BMI) yang rendah dan kadar kolesterol serum yang rendah akan menurunkan kejadian kardiovaskuler dan memperbaiki angka kelangsungan hidup, tetapi pada pasien dialisis justru meningkatkan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler. Pada pasien dialisis, obesitas, hiperkolesterolemia dan hipertensi justru dikaitkan dengan angka kelangsungan hidup yang lebih panjang. Mungkin dibutuhkan suatu standar atau target tersendiri untuk faktor-faktor risiko tradisional penyakit kardiovaskuler (BMI, kolesterol serum, tekanan darah) pada pasien dialisis, terutama yang menderita PEM.

PENETAPAN STATUS NUTRISI
Menetapkan dan memonitor status nutrisi protein-energi pasien dialisis merupakan kegiatan penting dengan tujuan untuk mencegah, mendiagnosis serta mengobati PEM. Status nutrisi protein-energi pada dasarnya menggambarkan status kwantitatif dan kwalitatif protein, baik komponen visceral (non otot) maupun somatik (otot), serta status keseimbangan energi. Sampai dengan sekarang secara definitif belum ada cara tunggal yang bisa dianggap sebagai standar emas untuk menilai status nutrisi maupun menilai respon intervensi nutrisi. Dewasa ini didapatkan banyak cara untuk menetapkan status nutrisi, sehingga disesuaikan dengan sarana yang ada, bisa dilakukan sebanyak mungkin cara yang bisa membantu menetapkan status nutrisi pasien dialisis. Metode dan cara untuk menetapkan adanya PEM pada pasien yang menjalani dialisis, secara klasik dibagi menjadi 4 kategori, yaitu: penilaian terhadap selera makan dan asupan makanan (assessment of appetite and dietary intake), penilaian berdasarkan pemeriksaan biokimiawi dan laboratorium (biochemical and laboratory assessment), pengukuran komposisi tubuh (body composition measures), dan sistim skoring nutrisi (nutritional scoring system).

Tabel1:Cara evaluasi status nutrisi pada penderita dialisis berkesinambungan

Nutritional Intake and Appetite
– Appetite assessment questionnaires
– Direct dietary assessment:diet recall and diaries,food frequency questionnaires
– Indirect assessment (eq,urea nitrogen appearance:nPNA or nPCR)
Body composition
– Weight based measures:weight-for-height,BMI,edema-free fat-free weight
– Skin and muscle anthropometry via caliper:skinfold,extremity muscle mass
– Total body elements:total body potassium,total body nitrogen
– Energy-beam-based methods:DEXA,BIA,NIR
– Other methods:underwater weighing
Laboratory measures
– Visceral protein(negative acute phase reactan):albumin,prealbumin,transferrin
– Somatic protein and nitrogen surrogates:creatinine,SUN
– Lipids:cholesterol,triglycerides,other lipids and lipoproteins
– Growth factors:IGF-1,leptin
– Peripheral blood cell count:lymphocyte count or percentage
Nutrutional Scoring System
– Conventional SGA and its modifications (e.g.,DMS,MIS,CANUSA)
– Other scores:HD-PNI,others (e.g.,Wolfson,Merkus,Merckman)

Pada saat melakukan wawancara dengan penderita, adanya keluhan mual, muntah, tidak ada nafsu makan maupun penurunan berat badan harus dievaluasi secara hati-hati untuk kemungkinan penyebab non uremik seperti gagal jantung kongestif yang berat, kencing manis, berbagai kelainan gastrointestinal, depresi, preparat besi yang bisa menyebabkan dispepsia atau prednisone yang bisa meningkatkan katabolisme. Asupan makanan harus dinilai pada hari-hari saat menjalani HD dan hari-hari diluar jadwal HD, biasanya pada hari-hari HD menurun sekitar 20%. Skinfold thickness bisep dan trisep menggambarkan lemak tubuh sedangkan midarm circumference untuk menilai massa otot. Subjective Global Assesment (SGA) merupakan suatu metode penilaian sederhana untuk mengevaluasi status nutrisi didasarkan dari riwayat kesehatan penderita dan parameter fisik. Albumin serum merupakan indeks status nutrisi penting dan pemeriksaan ini tersedia hampir disemua laboratorium, namun perlu diperhatikan faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap kadar albumin seperti status cairan, gangguan fungsi hati, gangguan saluran cerna, dan berbagai kelainan yang menyebabkan inflamasi.
Pemantauan dan evaluasi status nutrisi pasien dialisis harus dilakukan secara periodik-berkesinambungan. Setidaknya dilakukan setiap 6 bulan sekali, sambil memperhatikan adekuasi HD nya serta kemungkinan penyakit penyerta lain. Kadar BUN yang rendah bisa saja merupakan gambaran pasien yang menjalani HD dengan baik dan dengan asupan protein yang cukup, tapi bisa juga sebagai gambaran pasien yang tindakan HD nya tidak adekwat dan asupan proteinnya buruk.

PENATALAKSANAAN NUTRISI
Nutrisi mempunyai peranan yang penting pada seluruh stadium PGK. Hipertensi, obesitas, hiperlipidemia dan kontrol gula yang buruk akan berpengaruh terhadap progresifitas PGK. Disisi lain, kondisi uremik dan pembatasan diit yang berlebihan (terutama protein) tanpa disertai jumlah energi yang cukup pada masa pra-dialisis ikut berperan pada terjadinya PEM saat dialisis berkesinambungan. PEM sendiri dilaporkan memburuk progresif sejalan dengan penurunan fungsi ginjal. Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa status nutrisi yang buruk pada saat penderita mulai memerlukan dialisis merupakan prediktor kuat peningkatan mortalitas pada masa dialisis.
Tujuan pengaturan nutrisi pada pasien hemodialisis berkesinambungan:
1. Mencapai dan memelihara status nutrisi yang baik
2. Mencegah atau menunda berkembangnya penyakit kardiovaskuler, serebrovaskuler dan periferal vaskuler
3. Mencegah atau mengobati hiperparatiroidisme serta osteodistrofi .
4. Mencegah atau memperbaiki toksisitas uremi dan berbagai kelainan metabolik yang berpengaruh terhadap nutrisi, yang terjadi pada gagal ginjal dan tidak dapat diperbaiki dengan HD yang adekwat.

Untuk bisa memenuhi aturan diit tertentu merupakan tantangan berat bagi pasien dan keluarganya, karena dibutuhkan perubahan yang bermakna bukan saja dari kebiasaan diitnya tapi juga pola perilakunya. Seringkali mereka harus membatasi atau mengurangi beberapa makanan kesukaannya untuk menghindari terjadinya hiperkalemia dan hiperfosfatemia. Akan tetapi juga harus diingat bahwa pasien dialisis seringkali terlalu sedikit mengkonsumsi nutrien yang seharusnya dibutuhkan. Karena itu dibutuhkan edukasi yang baik mengenai perubahan pola diit antara sebelum dan sesudah menjalani hemodialisis berkesinambungan serta tujuan penatalaksanaan nutrisi pada penderita maupun keluarganya.

Tabel 2 : Rekomendasi kebutuhan nutrien penderita hemodialisis berkesinambungan

Makronutrien dan serat

Protein : 1,2 g/kgBB/hr
Kalori : 30-35 kcal/kgBB/hr
Lemak : 30% total kebutuhan kalori
Karbohidrat :sisa kebutuhan kalori non protein
Serat total : 20-25 g/hr

Mineral dan Air
Natrium : 750-2000 mg/hr
Kalium : < 70-80 mEq/hr
Phospor : 10-17 mg/kgBB/hr
Kalsium : < 1000 mg/hr
Magnesium :200-300 mg/hr
Fe : baca penjelasan
Zinc : 15 mg/hr
Air : biasanya 750-1500 ml/hr

Vitamin (termasuk suplemen)
Vit B1 (thiamin) : 1,1 – 1,2 mg/hr
Vit B2 (riboflavin) : 1,1- 1,3 mg/hr
Asam pantothenat : 5 mg/hr
Biotin : 30 ug/hr
Niasin : 14-16 mg/hr
Vit B6 (piridoksin) : 10 mg/hr
Vit B12 : 2,4 ug/hr
Vit C : 75-90 mg/hr
Asam Folat : 1-10 mg/hr
Vitamin A : baca penjelasan
Vit D : baca penjelasan
Vit E : 400-800 IU (baca penjelasan)

Asupan protein yang direkomendasikan oleh NKF-K/DOQI untuk pasien hemodialisis berkesinambungan adalah 1,2g/kgBB/hr, dimana 50% dari nilai tersebut harus dengan nilai biologi tinggi untuk menjamin kebutuhan asam amino esensial. Kalori yang dianjurkan adalah 35 kcal/kgBB/hr untuk umur 60 tahun. Kebutuhan Fe sangat bervariasi sesuai dengan pemberian erythropoetin. Karena vitamin yang larut dalam air ikut keluar dari tubuh saat proses HD, maka diperlukan tambahan. Semua pasien HD membutuhkan tambahan asam Folat dan vitamin B. Asam Folat 1 mg/hr merupakan pengobatan rutin, sedangkan bila sampai 10 mg/hr maka dengan tujuan untuk menurunkan kadar homosistein plasma. Pemberian asam askorbat dibatasi tidak lebih dari 100 mg/hr oleh karena dosis tinggi dapat menyebabkan akumulasi oksalat. Vitamin A, D,E dan K merupakan vitamin yang larut dalam lemak. Pada pasien dialisis tidak terlalu dibutuhkan tambahan vitamin yang larut dalam lemak karena tidak banyak hilang saat hemodialisis maupun peritoneal dialisis. Konsentrasi vitamin A serum pasien HD biasanya meningkat, dan pasien PGK stadium lanjut mudah mengalami toksisitas vitamin A. Hipervitaminosis A pada pasien dialisis bisa menyebabkan anemia serta gangguan metabolisme lipid dan kalsium. Pemberian rutin vitamin D pada pasien HD akan meningkatkan absorbsi Ca, mencegah atau mengobati hiperparathiroidisme serta memperbaiki metabolisme tulang. Namun demikian dosis kalsitriol ditentukan dengan hati-hati dan harus dilakukan monitor rutin untuk menghindari terjadinya hiperkalsemia dan hiperfosfatemia. Vitamin E 300 atau 800 IU/hr bisa diberikan untuk menurunkan kondisi stres oksidatif dan mencegah penyakit kardiovaskuler, tapi masih kontroversi. Kadar vitamin K pasien HD biasanya normal sehingga tambahan vitamin K secara rutin tidak direkomendasikan.Tetapi pada penggunaan antibiotika dapat terjadi penekanan produksi vitamin K oleh bakteri usus sehingga mungkin dibutuhkan tambahan vitamin K.

RANGKUMAN
Tergantung pada petanda nutrisi yang digunakan dan populasi yang diteliti, diperkirakan 50%-70% penderita dialisis menunjukkan tanda dan gejala malnutrisi. Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa status nutrisi yang buruk pada saat penderita mulai memerlukan dialisis merupakan prediktor kuat peningkatan mortalitas pada masa dialisis. Tujuan dari penatalaksanaan nutrisi pada pasien dialisis pada dasarnya adalah untuk meningkatkan dan memelihara status nutrisi yang baik dengan tetap memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit serta tanpa memperburuk gejala uremik. Penderita dialisis dengan asupan protein yang kurang akan meningkatkan risiko terjadinya malnutrisi dan mempunyai angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi, dengan demikian membutuhkan perhatian, edukasi dan bimbingan secara periodik-berkesinambungan dari dokter, perawat serta ahli gizi yang merawat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Bircher G, Doherty CC. Gastroenterology and Nutrition in Chronic Kidney Disease Nutrition. In: Comprehensive Clinical Nephrology. Feehally J, Floege J, Johnson RJ (eds), 3rd ed. Mosby Elsevier,Philadelphia,2007, pp.893-902.

2. Feinstein EI.NutritionalTherapy in Maintenance Hemodialysis. In: Dialysis Therapy.Nissenson AR, Fine RN(eds),3rd ed. Hanley & Belfus, Inc, Philadelphia,2002, pp. 281-285.

3. Ikizler TA, Wingard RL, Harvell J, Shyr Y, Hakim RM, 1999. Association of morbidity with markers of nutrition and inflammation in chronic hemodialysis patients : A prospective study. Kid Int. 55: 1945-1951.

4. Laville M, Fouque D Nutritional aspects in hemodialysis. Kid Int., 2000 (Suppl 67): S133 –S139.

5. Mohani CI. Nutritional Management in Chronic Kidney Disease. In: Naskah lengkap Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XXIII Ilmu Penyakit Dalam FK Unair-RS Dr Soetomo, Surabaya,Agustus 2008, hal 198-209.

6. Pranawa. Nutrisi pada Gagal Ginjal Kronis. In: Naskah lengkap Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XIII Ilmu Penyakit Dalam FK Unair-RS Dr Soetomo, Surabaya,September 1998, hal 267-274.
7. Pupim L, Martn CJ, Ikizler TA. Assessment of Protein-Energy Nutritional Status. In: Kopple and Massry’s Nutritional Management of Renal Disease. Kopple JD, Massry SG (eds), 2nd ed . Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, 2004, pp.223-240.

8. Rocco MV, Ikizler TA. Nutrition. In: Handbook of Dialysis. Dourgirdas JT, Blake PG, Ing TS (eds), 4th ed . Lippincot Williams & Wilkins, Philadelphia, 2007, pp.462-481.

9. Vennegoor M. RenalNutrition. In: Renal Nursing. Thomas N (ed), 2nd ed.Bailliere Tindall, Philadelphia, 2002, pp.267-298.

10. Zadeh KK, Kopple JD. Nutritional Management of Patients Undergoing Maintenance Hemodialysis. In: Kopple and Massry’s Nutritional Management of Renal Disease. Kopple JD, Massry SG (eds), 2nd ed . Lippincott Williams & Wilkins,Philadelphia, 2004, pp.433-466.

11. Zadeh KK. Nutritional Therapy in Maintenance Hemodialysis. In: Handbook of Dialysis Therapy. Nissenson AR, Fine RN (eds), 4th ed. Saunders Elsevier, Philadelphia,2008, pp. 687-702.

Nunuk Mardiana
Divisi Ginjal-Hipertensi
Departemen-SMF Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran UNAIR-RSU Dr Soetomo Surabaya
Disampaikam dalam kegiatan :
Indonesian Nephrology Nurse Association (PPGII)
MEETING AND SYMPOSIUM 2008

Tinggalkan komentar

Sedang Tren